Permasalahan siswa yang terjadi di sekolah seperti: tawuran, membolos,
mencontek, bullying, malas belajar, nilai rapot yg buruk, dan entah apalagi
bentuknya, sebenarnya merupakan fenomena yang sudah lama terjadi dan cenderung
terus ada seakan tak pernah sirna. Pernah kah kita terpikir untuk menanganinya
secara lebih efektif?
Sepertinya, para guru asyik dengan
kesibukan membuat silabus dan rencana pembelajaran, penyiapan materi,
administrasi, serta tugas yang lain. Padahal, belum lengkap rasanya kalau guru
hanya melaksanakan tugas yang berkaitan dengan administrasi dan proses
pembelajaran saja.
Sebenarnya selain guru bimbingan dan
konseling, guru bidang studi, dan staf sekolah dapat membantu menyelesaikan
permasalahan siswa tanpa harus menelantarkan pekerjaan utamanya. Sebab, mereka
selalu berinteraksi cukup intensif.dengan siswa di sekolah. Peluang untuk
membantu siswa keluar dari permasalahannya itu cukup terbuka lebar.
Ada sebagian guru yang berusaha
melakukan hal itu. Sayangnya, tindakan yang diterapkan selama ini belum mampu
mengatasi permasalahan pelajar yang ada di sekolah karena belum menyentuh akar
permasalahan yang sebenarnya. Entah terdorong oleh rasa putus asa atau tidak,
siswa sering menjadi kambing hitam dalam setiap permasalahan yang muncul
disekolah.
Fakta dilapangan mengungkap secara
gamblang, banyak guru dan staf sekolah yang justeru berkontribusi terhadap
munculnya permasalahan yang dialami siswa. Namun, mereka tidak menyadari akan
hal itu. Kita mungkin masih bertanya-tanya bahkan tidak percaya, seraya
berkata, Masa sih guru jadi penyebab masalah siswa?
Kasus dibawah ini adalah contoh
kecil yang terjadi di sekolah. Kita akan coba melihatnya dan mengomentarinya
dengan paradigma baru yang menurut kami perlu diterapkan dalam dunia pendidikan
entah disekolah ataupun ditempat lainnya.
Seorang siswa mengekspresikan
kekesalannya kepada salah seorang gurunya:
Ini sekolah macam apa? Yang
diajarkan adalah hal-hal yg monoton dan tidak berguna. Saya telah memutuskan
untuk tidak melanjutkan sekolah lagi. Untuk menjadi seorang penting, tidak
diperlukan pendidikan tinggi. Ada banyak cara utk maju di dunia ini.
Sekarang, bisakah anda tulis diatas
secarik kertas bagaimana respon verbal anda terhadap pesan siswa diatas. Mari
kita cocokkan jawabannya dengan respon-respon berikut. Kira-kira manakah
diantaranya yang mirip dengan respon anda?
Berbagai respon terhadap pesan
diatas dapat digolongkan ke dalam dua belas kategori:
1. Memerintah, mengarahkan,
mengatur: Jangan bicara seperti itu, Jangan mengeluh!
2. Mengancam, memperingatkan: Sekali
lagi bicara kau harus pergi dari hadapan saya!
3. Menanamkan moral, menceramahi,
memberi keharusan: Kamu tidak boleh berkata begitu.
Kamu seharusnya bersyukur. Kamu
harus menjaga ucapanmu baik-baik!
4. Menasehati, memberi penyelesaian
atau saran-saran: Berpikirlah dulu sebelum berkata!
Mengapa tidak kau bicarakan terlebih
dahulu dengan orang tuamu? Saya anjurkan kau bicarakan dengan kepala sekolah
tentang hal itu.
5. Menggurui, memberi argument
logis, berusaha mempengaruhi anak dengan fakta-fakta, informasi atau pendapat
pribadi: Ketika bapak seumurmu, bapak mengalami hal yang lebih
pahit dari ini. Mari kita lihat fakta-fakta tentang sekolah
ini!
6. Menghakimi, mengkritik,
tidak menyetujui, menyalahkan
Kau ini cerewet sekali. Itu
pandangan yg terlalu kekanak-kanakkan.
7. Membentak, menstereotipkan,
memberi label, mencemooh, membuat malu: Tingkah mu itu loh seperti anak SD
saja. Kau memang anak manja!
8. Menginterpretasikan,
menganalisis, mendiagnosis: Kau hanya menghindar dari tugas saja.
Kau merasa begitu karena kau tidak
menyelesaikan tugas sekolah dengan baik.
9. Memuji, menyetujui, memberi
evaluasi positif: Kau benar-benar seorang yg berbakat. Saya tahu
kau pasti dapat menyelesaikan masalah itu.
10.Memberi kepastian, memberi
simpati, menenteramkan, memberi dukungan: Kau bukanlah satu-satunya orang
yang mengalami kejadian seperti ini. Saya juga pernah mengahadapi situasi
yang kau hadapi sekarang ini.
11.Menanyai, mendesak,
menginterogasi, mengecek jawaban: Apa kau pikir sekolah ini terlalu buruk?
Mengapa kau tidak menyukai sekolah?
12. Menarik diri, mengganggu, sinis,
melucu, mengalihkan perhatian
Ayo, mari kita membicarakan sesuatu
yang lebih menyenangkan. Lupakan saja hal itu.
Respon kedua belas kategori diatas
sangat tidak efektif karena menggunakan bahasa yang kami sebut bahasa penolakan.
Jawaban seperti diatas tidak menyelesaikan masalah tapi cenderung memperkeruh
masalah. Kok bisa?
Seorang psikolog klinis, Thomas
Gordon (1970) telah meneliti respon-respon seperti diatas, menurutnya kedua
belas respon itu berakibat buruk terhadap perkembangan psikologis seseorang.
Lebih lanjut penjelasannya sebagai berikut:
1. Memerintah, mengarahkan,
mengatur. Pesan-pesan ini:
· Menyatakan kepada anak bahwa
perasaan-perasaan atau kebutuhannya tidak penting
· Anak harus menuruti perasaan atau
kebutuhan guru
· Anak tidak diterima sebagaimana
adanya pada saat itu
· Menanamkan rasa takut terhadap
kekuasaan yang dipunyai guru
· Membuat anak merasa tidak senang
dan marah
· Menyebabkan anak mengutarakan
perasaan-perasaan bermusuhan
· Guru tidak mempercayai pendapat
atau kemampuan anak
2. Mengancam, memarahi,
memperingatkan. Kandungan pesan ini adalah:
· Membuat siswa merasa ketakutan dan
taat (hanya pada waktu itu)
· Mengkomunikasikan bahwa guru tidak
menaruh perhatian terhadap kebutuhan atau keinginan siswa
· Mengundang siswa untuk menguji
sampai sejauh mana kebenaran ancaman tersebut
· Siswa tergoda untuk melakukan
sesuatu yang dilarang, hanya untuk melihat apakah konsekwensi yang dijanjikan
guru memang benar
3. Menanamkan moral, menceramahi,
memberi keharusan. Jawaban seperti ini berdampak:
- Menunjukkan kepada anak kekuasaan otoritas dari luar
serta kewajiban
- Anak mungkin bereaksi terhadap “keharusan”, “mesti”,
“wajib” dengan menolak dan mempertahankan sikap mereka dengan lebih kuat.
- Anak merasa bahwa guru tidak mempercayai penilaian
mereka
- Dapat menimbulkan perasaan bersalah yang tidak wajar
dalam diri anak
4. Menasehati, memberi penyelesaian
atau saran-saran:
Pesan-pesan ini berakibat:
· Sering dirasakan oleh anak sebagi
bukti bahwa guru tidak mempunyai kepercayaan terhadap penilaian atau kemampuan
anak untuk mencari pemecahannya sendiri
· Mempengaruhi anak supaya tetap
bergantung pada guru (“apa yang harus saya lakukan, pak”)
· Kadang anak sangat tidak menyenangi
usul-usul atau nasihat-nasihat.
· Nasihat kadang mengkomunikasikan
superioritas kepada anak, anak dapat pula merasakan inferioritas.
5. Menggurui, memberi argument
logis, berusaha mempengaruhi anak dengan fakta-fakta, informasi atau pendapat
pribadi. Pesan-pesan ini:
- Membuat siswa merasa bahwa Anda membuatnya tampak
rendah, bawahan atau tidak mampu. (Kamu selalu berpikir bahwa kamu tahu
segalanya).
- Logika dan fakta sering membuat anak menjadi bertahan
dan kurang senang. (Kamu pikir saya tak tahu hal itu).
- Seperti halnya orang dewasa, anak kurang suka kalau
ditunjukkan mereka bersalah, konsekwensinya mereka mempertahankan posisi
mereka sampai titik terakhir.
- Kadang anak memilih mengacuhkan fakta. (Saya tak
peduli).
6. Menghakimi, mengkritik,
tidak menyetujui, menyalahkan. Respon ini berimplikasi:
- Membuat anak merasa tidak mampu, rendah, bodoh, tak
berharga, jahat. Citra diri seorang anak dibentuk oleh penilaian
lingkungan. Bagaimana lingkungan menilai anak, demikian pula anak menilai
dirinya sendiri.
- Kritik negative menimbulkan kritik balasan. (Kamu
sendiri tidak seperti itu).
- Anak merasa bahwa mereka bukan anak baik dan bahwa guru
tidak mengasihi mereka
7. Membentak, menstereotipkan,
memberi label, mencemooh, membuat malu. Pesan-pesan ini berakibat efek yang
ruaarrr biasa terhadap citra diri seorang anak. Seorang anak merasa tidak
berharga, jahat, dan tidak dicintai. Kasus bunuh diri sering terjadi akibat
muncul perasaan seperti ini dalam diri seseorang.
8. Menginterpretasikan,
menganalisis, mendiagnosis. Respon ini mengakibatkan:
· Guru telah dapat menebak diri
anak, tahu mengapa dia bertingkah laku semacam itu
· Bila interpretasi itu tepat, anak
merasa malu sudah dipamerkan semacam itu. (Kamu melakukan itu hanya untuk
menarik perhatian).
· Bila interpretasi itu salah, anak
akan menjadi marah karena dituduh secara tidak adil
· Mengindikasikan bahwa guru merasa
superior, lebih bijaksana, lebih pandai.
· Memotong komunikasi pada saat itu,
dan mengajar anak untuk tidak membagi persoalan yang dipunyainya dengan orang
lain.
9.
Memuji, menyetujui, memberi evaluasi positif. Pesan jenis ini menyiratkan:
· Penilaian positif yang tidak
sesuai dengan citra diri anak dapat menimbulkan sikap bermusuhan
· Anak merasa pujian sebagai alat
manipulasi, suatu cara halus untuk mempengaruhi anak supaya mau
mengerjakan apa yang dituntut oleh orang dewasa.
· Anak menyimpulkan bahwa guru
mereka tak memahami mereka bila memberi pujian
· Anak-anak yang terlalu banyak
dipuji mungkin menggantungkan diri pada hal tersebut
10. Memberi kepastian, memberi
simpati, menenteramkan, memberi dukungan. Pesan ini berakibat:
· Anak yakin bahwa Anda tidak
memahami dirinya
· Guru menghibur dan menentramkan
karena merasa kurang enak kalau siswanya merasa disakiti, bingung, kecil hati,
dan sejenisnya.
· Pesan ini mengatakan kepada anak
bahwa Anda menginginkan supaya anak berhenti merasakan demikian. (Jangan
merasa sedih, keadaan akan menjadi baik).
· Tidak menunjukkan simpati
seringkali menghentikan komunikasi lebih lanjut.
11. Menanyai, mendesak,
menginterogasi, mengecek jawaban. Makna pesan ini:
· Bagi anak diartikan sebagai kurang
percaya, curiga, atau meragukan.
· Anak menilai itu sebagai usaha
untuk menyalahkan dirinya
· Anak merasa terancam dengan
pertanyaan-pertanyaan
· Anak curiga bahwa Anda sedangg
mengumpulkan data untuk membuat penyelesaian persoalan bagi dirinya
· Pertanyaan membatasi kebebasan
individu untuk menceritakan apa yg dia inginkan
12. Menarik diri, mengganggu, sinis,
melucu, mengalihkan perhatian.
Pesan-pesan ini berdampak bahwa:
- Anda tidak menaruh minat terhadap diri anak, tidak
menghargai perasaan-perasaannya, dan begitu saja menolaknya
- Anak-anak biasanya sangat serius bila mereka butuh
mempercakapkan sesuatu. Bila anda menjawab dengan melucu, Anda bisa
membuat mereka sakit hati dan ditolak.
- Anak-anak seperti orang dewasa, ingin untuk didengar
dan dipahami dengan penuh hormat.
Jika respon yang diperagakan guru
diatas terangkum dalam dua belas kategori itu tidak tepat, lantas
seperti apakah sikap yang solutif dan terapetis?
Berikut adalah cara efektif yang
dilakukan guru bila siswa punya masalah yaitu dengan menggunakan bahasa yang
kami sebut bahasa penerimaan dengan teknik sebagai berikut:
1. Mendengar pasif (diam sambil
tetap mendengarkan), manfaatnya adalah:
· Mendengar itu mengajak orang yang
bermasalah membicarakan apa yang mengganggunya
· Memudahkan terjadinya katarsis,
yaitu pelepasan perasaan serta emosi.
· Memudahkan orang yang bermasalah
mencari lebih dalam dan perasaan yang lebih mendasar
· Memberitahukan kepadanya
kesungguhan anda sebagai penolong
· Mengkomunikasikan penerimaan anda
terhadap dia apa adanya.
2. Pengutaraan respon
Pada saat terjadi jeda, anda dapat
menggunakan respon verbal mapun non verbal yang menunjukkan kalau anda benar-benar
memperhatikan. Isyarat verbal yang dapat diutarakan seperti: He-eh, oh, saya
mendengarkan. Respon non-verbal yang dapat dilakukan seperti: Ekspresi
wajah, mengangguk, tersenyum, dan mengerutkan dahi.
Gerakan-gerakan tubuh bila digunakan
dengan tepat memberitahukan kepada murid bahwa anda mendengarkan.
3. Kunci pembuka
Kadang-kadang murid membutuhkan
dorongan tambahan agar mau berbicara lebih banyak, lebih dalam, atau bahkan
untuk mulai berbicara. Maka diperlukan teknik membuka percakapan lebih lanjut,
seperti:
“Itu sangat menarik, apa lagi?, Bisa
ceritakan lebih lanjut?, Sepertinya kamu mempunyai perasaan yg mendalam tentang
hal itu?”.
4. Mendengar aktif
Suatu cara mendengarkan dengan
sungguh-sungguh untuk mengerti apa yang dikomunikasikan oleh anak murid.
Ada dua cara untuk mempraktekkan hal
ini:
a. Merefleksi isi pembicaraan
anak/parafrasa
Murid: “Sy tidak punya
teman bermain; Toto pergi berlibur dengan orang tuanya. Saya tidak tahu
apa yang harus saya lakukan”.
Guru: “ Kau kehilangan
Toto & tidak tahu apa yang kau lakukan”.
b. Merefleksi perasaan anak
Ini bisa dilakukan dengan mengenali
bahasa tubuh, suara, prasa, idiom yg dikirim anak
Murid: “Saya tak tahu apa yang
saya ambil di perguruan tinggi nanti. Saya ingin mengambil teknik sipil,
tapi ibuku ingin aku mengambil matematika.
Guru: “Kau
bimbang antara keinginanmu & keinginan ibumu”.
Murid: “He-eh.”
Penulis Quantum Learning,
Bobbi Deporter (2006) pernah melakukan riset terhadap supercamp keterampilan
hidup di California. Dia menginventarisir permasalahan remaja yang umumnya
terjadi, yaitu: hubungan yang bermasalah, perasaan yang terluka, citra-diri
negative, rasa takut akan perubahan besar, nilai-nilai buruk di sekolah,
konsentrasi yang kurang, dan motivasi yang rendah. Penyebab munculnya
permasalahan itu adalah karena kurangnya kesadaran diri remaja, keinginan
remaja untuk dimengerti tidak terpenuhi, rendahnya kemampuan bersosialisasi,
remaja kurang berpikir, dan kurang belajar.
Ajaibnya! Para remaja yang memasuki
dan berada dalam lingkungan yang positif (remaja merasa diterima dan
dipercaya), mereka keluar dari masalah-masalah yang mengungkung diri mereka.
Sebab itu, sudah saatnya kita
menebarkan bahasa penerimaaan agar proses pendidikan yang dialami siswa bisa
lebih maksimal. Disamping itu, pelayanan psikologis bukan hanya diberikan
kepada siswa, tetapi juga guru dan orang tua.
Siswa diberikan keterampilan
mengelola emosi seperti: sedih atau stress, berkomunikasi efektif, menjadi
pribadi yang mampu berempati, menerapkan cara belajar yang efektif, dan mampu
menyelesaikan masalah hidup yang dialaminya.
Guru perlu diberikan training
komunikasi efektif dan terapetis, yaitu bagaimana cara berinteraksi yang sehat
dan tidak merendahkan dan mematahkan semangat siswa sehingga siswa dapat tumbuh
dan berkembang sehat baik fisik maupun mental. Juga, kepada orang tua perlu
menerapkan pola asuh yang memungkinkan terciptanya suasana yang kondusif untuk
pertumbuhan fisik dan perkembangan psikologis anaknya. Itulah sebabnya, orang
tua perlu memanfaatkan pelayanan konsultasi yang dapat diberikan oleh seorang
konselor sekolah.Jika langkah-langkah ini diterapkan dilingkungan sekolah,
Insya Allah proses pendidikan akan berjalan lebih dinamis dan standar
kompetensi dan kompetensi dasar yang ditargetkan akan tercapai maksimal. Bahkan
bisa jadi, siswa akan menunjukkan perilaku yang “qurrata a’yun” dan menjadi
pemimpin yang bertaqwa. Wallahu A’lam bisshowab.
Sumber.Kompasiana