Senin, 10 Desember 2012

Paradigma Baru Menyikapi Problematika Siswa di Sekolah


Permasalahan siswa yang terjadi di sekolah seperti: tawuran, membolos, mencontek, bullying, malas belajar, nilai rapot yg buruk, dan entah apalagi bentuknya, sebenarnya merupakan fenomena yang sudah lama terjadi dan cenderung terus ada seakan tak pernah sirna. Pernah kah kita terpikir untuk menanganinya secara lebih efektif?
Sepertinya, para guru asyik dengan kesibukan membuat silabus dan rencana pembelajaran, penyiapan materi, administrasi, serta tugas yang lain. Padahal, belum lengkap rasanya kalau guru hanya melaksanakan tugas yang berkaitan dengan administrasi dan proses pembelajaran saja.
Sebenarnya selain guru bimbingan dan konseling, guru bidang studi, dan staf sekolah dapat membantu menyelesaikan permasalahan siswa tanpa harus menelantarkan pekerjaan utamanya. Sebab, mereka selalu berinteraksi cukup intensif.dengan siswa di sekolah. Peluang untuk membantu siswa keluar dari permasalahannya itu cukup terbuka lebar.
Ada sebagian guru yang berusaha melakukan hal itu. Sayangnya, tindakan yang diterapkan selama ini belum mampu mengatasi permasalahan pelajar yang ada di sekolah karena belum menyentuh akar permasalahan yang sebenarnya. Entah terdorong oleh rasa putus asa atau tidak, siswa sering menjadi kambing hitam dalam setiap permasalahan yang muncul disekolah.
Fakta dilapangan mengungkap secara gamblang, banyak guru dan staf sekolah yang justeru berkontribusi terhadap munculnya permasalahan yang dialami siswa. Namun, mereka tidak menyadari akan hal itu. Kita mungkin masih bertanya-tanya bahkan tidak percaya, seraya berkata, Masa sih guru jadi penyebab masalah siswa?
Kasus dibawah ini adalah contoh kecil yang terjadi di sekolah. Kita akan coba melihatnya dan mengomentarinya dengan paradigma baru yang menurut kami perlu diterapkan dalam dunia pendidikan entah disekolah ataupun ditempat lainnya.
Seorang siswa mengekspresikan kekesalannya kepada salah seorang gurunya:
Ini sekolah macam apa? Yang diajarkan adalah hal-hal yg monoton dan tidak berguna. Saya telah memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolah lagi. Untuk menjadi seorang penting, tidak diperlukan pendidikan tinggi. Ada banyak cara utk maju di dunia ini.
Sekarang, bisakah anda tulis diatas secarik kertas bagaimana respon verbal anda terhadap pesan siswa diatas. Mari kita cocokkan jawabannya dengan respon-respon berikut. Kira-kira manakah diantaranya yang mirip dengan respon anda?
Berbagai respon terhadap pesan diatas dapat digolongkan ke dalam dua belas kategori:
1. Memerintah, mengarahkan, mengatur: Jangan bicara seperti itu, Jangan mengeluh!
2. Mengancam, memperingatkan: Sekali lagi bicara kau harus pergi dari hadapan saya!
3. Menanamkan moral, menceramahi, memberi keharusan: Kamu tidak boleh berkata begitu.
Kamu seharusnya bersyukur. Kamu harus menjaga ucapanmu baik-baik!
4. Menasehati, memberi penyelesaian atau saran-saran: Berpikirlah dulu sebelum berkata!
Mengapa tidak kau bicarakan terlebih dahulu dengan orang tuamu? Saya anjurkan kau bicarakan dengan kepala sekolah tentang hal itu.
5. Menggurui, memberi argument logis, berusaha mempengaruhi anak dengan fakta-fakta, informasi atau pendapat pribadi: Ketika bapak seumurmu, bapak mengalami hal yang lebih pahit   dari ini. Mari kita lihat fakta-fakta tentang sekolah ini!
6.  Menghakimi, mengkritik, tidak menyetujui, menyalahkan
Kau ini cerewet sekali. Itu pandangan yg terlalu kekanak-kanakkan.
7. Membentak, menstereotipkan, memberi label, mencemooh, membuat malu: Tingkah mu itu loh seperti anak SD saja. Kau memang anak manja!
8. Menginterpretasikan, menganalisis, mendiagnosis: Kau hanya menghindar dari tugas saja.
Kau merasa begitu karena kau tidak menyelesaikan tugas sekolah dengan baik.
9. Memuji, menyetujui, memberi evaluasi positif: Kau benar-benar seorang yg berbakat. Saya   tahu kau pasti dapat menyelesaikan masalah itu.
10.Memberi kepastian, memberi simpati, menenteramkan, memberi dukungan: Kau bukanlah satu-satunya orang yang mengalami kejadian seperti ini. Saya juga pernah  mengahadapi situasi yang kau hadapi sekarang ini.
11.Menanyai, mendesak, menginterogasi, mengecek jawaban: Apa kau pikir sekolah ini terlalu buruk? Mengapa kau tidak menyukai sekolah?
12. Menarik diri, mengganggu, sinis, melucu, mengalihkan perhatian
Ayo, mari kita membicarakan sesuatu yang lebih  menyenangkan. Lupakan saja hal itu.
Respon kedua belas kategori diatas sangat tidak efektif karena menggunakan bahasa yang kami sebut bahasa penolakan. Jawaban seperti diatas tidak menyelesaikan masalah tapi cenderung memperkeruh masalah. Kok bisa?
Seorang psikolog klinis, Thomas Gordon (1970) telah meneliti respon-respon seperti diatas, menurutnya kedua belas respon itu berakibat buruk terhadap perkembangan psikologis seseorang. Lebih lanjut penjelasannya sebagai berikut:
1. Memerintah, mengarahkan, mengatur. Pesan-pesan ini:
· Menyatakan kepada anak bahwa perasaan-perasaan atau kebutuhannya tidak penting
· Anak harus menuruti perasaan atau kebutuhan guru
· Anak tidak diterima sebagaimana adanya pada saat itu
· Menanamkan rasa takut terhadap kekuasaan yang dipunyai guru
· Membuat anak merasa tidak senang dan marah
· Menyebabkan anak mengutarakan perasaan-perasaan bermusuhan
· Guru tidak mempercayai pendapat atau kemampuan anak
2. Mengancam, memarahi, memperingatkan. Kandungan pesan ini adalah:
· Membuat siswa merasa ketakutan dan taat (hanya pada waktu itu)
· Mengkomunikasikan bahwa guru tidak menaruh perhatian terhadap kebutuhan atau keinginan siswa
· Mengundang siswa untuk menguji sampai sejauh mana kebenaran ancaman tersebut
· Siswa tergoda untuk melakukan sesuatu yang dilarang, hanya untuk melihat apakah konsekwensi yang dijanjikan guru memang benar
3. Menanamkan moral, menceramahi, memberi keharusan. Jawaban seperti ini berdampak:
  • Menunjukkan kepada anak kekuasaan otoritas dari luar serta kewajiban
  • Anak mungkin bereaksi terhadap “keharusan”, “mesti”, “wajib” dengan menolak dan mempertahankan sikap mereka dengan lebih kuat.
  • Anak merasa bahwa guru tidak mempercayai penilaian mereka
  • Dapat menimbulkan perasaan bersalah yang tidak wajar dalam diri anak
4. Menasehati, memberi penyelesaian atau saran-saran:
Pesan-pesan ini berakibat:
· Sering dirasakan oleh anak sebagi bukti bahwa guru tidak mempunyai kepercayaan terhadap penilaian atau kemampuan anak untuk mencari pemecahannya sendiri
· Mempengaruhi anak supaya tetap bergantung pada guru (“apa yang harus saya lakukan, pak”)
· Kadang anak sangat tidak menyenangi usul-usul atau nasihat-nasihat.
· Nasihat kadang mengkomunikasikan superioritas kepada anak, anak dapat pula merasakan inferioritas.
5. Menggurui, memberi argument logis, berusaha mempengaruhi anak dengan fakta-fakta, informasi atau pendapat pribadi. Pesan-pesan ini:
  • Membuat siswa merasa bahwa Anda membuatnya tampak rendah, bawahan atau tidak mampu. (Kamu selalu berpikir bahwa kamu tahu segalanya).
  • Logika dan fakta sering membuat anak menjadi bertahan dan kurang senang. (Kamu pikir saya tak tahu hal itu).
  • Seperti halnya orang dewasa, anak kurang suka kalau ditunjukkan mereka bersalah, konsekwensinya mereka mempertahankan posisi mereka sampai titik terakhir.
  • Kadang anak memilih mengacuhkan fakta. (Saya tak peduli).
6.  Menghakimi, mengkritik, tidak menyetujui, menyalahkan. Respon ini berimplikasi:
  • Membuat anak merasa tidak mampu, rendah, bodoh, tak berharga, jahat. Citra diri seorang anak dibentuk oleh penilaian lingkungan. Bagaimana lingkungan menilai anak, demikian pula anak menilai dirinya sendiri.
  • Kritik negative menimbulkan kritik balasan. (Kamu sendiri tidak seperti itu).
  • Anak merasa bahwa mereka bukan anak baik dan bahwa guru tidak mengasihi mereka
7. Membentak, menstereotipkan, memberi label, mencemooh, membuat malu. Pesan-pesan ini berakibat efek yang ruaarrr biasa terhadap citra diri seorang anak. Seorang anak merasa tidak berharga, jahat, dan tidak dicintai. Kasus bunuh diri sering terjadi akibat muncul perasaan seperti ini dalam diri seseorang.
8.  Menginterpretasikan, menganalisis, mendiagnosis. Respon ini mengakibatkan:
· Guru telah dapat menebak diri anak, tahu mengapa dia bertingkah laku semacam itu
· Bila interpretasi itu tepat, anak merasa malu sudah dipamerkan semacam itu. (Kamu melakukan itu hanya untuk menarik perhatian).
· Bila interpretasi itu salah, anak akan menjadi marah karena dituduh secara tidak adil
· Mengindikasikan bahwa guru merasa superior, lebih bijaksana, lebih pandai.
· Memotong komunikasi pada saat itu, dan mengajar anak untuk tidak membagi persoalan yang dipunyainya dengan orang lain.
9. Memuji, menyetujui, memberi evaluasi positif. Pesan jenis ini menyiratkan:
· Penilaian positif yang tidak sesuai dengan citra diri anak dapat menimbulkan sikap bermusuhan
· Anak merasa pujian sebagai alat manipulasi, suatu cara halus untuk mempengaruhi anak supaya mau     mengerjakan apa yang dituntut oleh orang dewasa.
· Anak menyimpulkan bahwa guru mereka tak memahami mereka bila memberi pujian
· Anak-anak yang terlalu banyak dipuji mungkin menggantungkan diri pada hal tersebut
10. Memberi kepastian, memberi simpati, menenteramkan, memberi dukungan. Pesan ini  berakibat:
· Anak yakin bahwa Anda tidak memahami dirinya
· Guru menghibur dan menentramkan karena merasa kurang enak kalau siswanya merasa disakiti, bingung, kecil hati, dan sejenisnya.
· Pesan ini mengatakan kepada anak bahwa Anda menginginkan supaya anak berhenti merasakan demikian. (Jangan merasa sedih, keadaan akan menjadi baik).
· Tidak menunjukkan simpati seringkali menghentikan komunikasi lebih lanjut.
11. Menanyai, mendesak, menginterogasi, mengecek jawaban. Makna pesan ini:
· Bagi anak diartikan sebagai kurang percaya, curiga, atau meragukan.
· Anak menilai itu sebagai usaha untuk menyalahkan dirinya
· Anak merasa terancam dengan pertanyaan-pertanyaan
· Anak curiga bahwa Anda sedangg mengumpulkan data untuk membuat penyelesaian persoalan bagi dirinya
· Pertanyaan membatasi kebebasan individu untuk menceritakan apa yg dia inginkan
12. Menarik diri, mengganggu, sinis, melucu, mengalihkan perhatian. Pesan-pesan ini berdampak bahwa:
  • Anda tidak menaruh minat terhadap diri anak, tidak menghargai perasaan-perasaannya, dan begitu saja menolaknya
  • Anak-anak biasanya sangat serius bila mereka butuh mempercakapkan sesuatu. Bila anda menjawab dengan melucu, Anda bisa membuat mereka sakit hati dan ditolak.
  • Anak-anak seperti orang dewasa, ingin untuk didengar dan dipahami dengan penuh hormat.
Jika respon yang diperagakan guru diatas terangkum dalam dua belas kategori itu tidak tepat,   lantas seperti apakah sikap yang solutif dan terapetis?
Berikut adalah cara efektif yang dilakukan guru bila siswa punya masalah yaitu dengan menggunakan bahasa yang kami sebut bahasa penerimaan dengan teknik sebagai berikut:
1. Mendengar pasif (diam sambil tetap mendengarkan), manfaatnya adalah:
· Mendengar itu mengajak orang yang bermasalah membicarakan apa yang mengganggunya
· Memudahkan terjadinya katarsis, yaitu pelepasan perasaan serta emosi.
· Memudahkan orang yang bermasalah mencari lebih dalam dan perasaan yang lebih mendasar
· Memberitahukan kepadanya kesungguhan anda sebagai penolong
· Mengkomunikasikan penerimaan anda terhadap dia apa adanya.
2. Pengutaraan respon
Pada saat terjadi jeda, anda dapat menggunakan respon verbal mapun non verbal yang menunjukkan kalau anda benar-benar memperhatikan. Isyarat verbal yang dapat diutarakan seperti: He-eh, oh, saya mendengarkan. Respon non-verbal yang dapat dilakukan seperti: Ekspresi wajah, mengangguk, tersenyum, dan mengerutkan dahi.
Gerakan-gerakan tubuh bila digunakan dengan tepat memberitahukan kepada murid bahwa anda   mendengarkan.
3.   Kunci pembuka
Kadang-kadang murid membutuhkan dorongan tambahan agar mau berbicara lebih banyak, lebih dalam, atau bahkan untuk mulai berbicara. Maka diperlukan teknik membuka percakapan lebih lanjut, seperti:
“Itu sangat menarik, apa lagi?, Bisa ceritakan lebih lanjut?, Sepertinya kamu mempunyai perasaan yg mendalam tentang hal itu?”.
4.  Mendengar aktif
Suatu cara mendengarkan dengan sungguh-sungguh untuk mengerti apa yang dikomunikasikan oleh anak murid.
Ada dua cara untuk mempraktekkan hal ini:
a. Merefleksi isi pembicaraan anak/parafrasa
Murid:  “Sy tidak punya teman bermain; Toto pergi berlibur dengan orang tuanya. Saya tidak tahu   apa   yang harus saya lakukan”.
Guru:   “ Kau kehilangan Toto & tidak tahu apa yang kau lakukan”.
b. Merefleksi perasaan anak
Ini bisa dilakukan dengan mengenali bahasa tubuh, suara, prasa, idiom yg dikirim anak
Murid: “Saya tak tahu apa yang saya ambil di perguruan tinggi nanti. Saya ingin mengambil teknik  sipil, tapi ibuku ingin aku mengambil matematika.
Guru:    “Kau bimbang antara keinginanmu & keinginan ibumu”.
Murid:   “He-eh.”
Penulis Quantum Learning, Bobbi Deporter (2006) pernah melakukan riset terhadap supercamp keterampilan hidup di California. Dia menginventarisir permasalahan remaja yang umumnya terjadi, yaitu: hubungan yang bermasalah, perasaan yang terluka, citra-diri negative, rasa takut akan perubahan besar, nilai-nilai buruk di sekolah, konsentrasi yang kurang, dan motivasi yang rendah. Penyebab munculnya permasalahan itu adalah karena kurangnya kesadaran diri remaja, keinginan remaja untuk dimengerti tidak terpenuhi, rendahnya kemampuan bersosialisasi, remaja kurang berpikir, dan kurang belajar.
Ajaibnya! Para remaja yang memasuki dan berada dalam lingkungan yang positif (remaja merasa diterima dan dipercaya), mereka keluar dari masalah-masalah yang mengungkung diri mereka.
Sebab itu, sudah saatnya kita menebarkan bahasa penerimaaan agar proses pendidikan yang dialami siswa bisa lebih maksimal. Disamping itu, pelayanan psikologis bukan hanya diberikan kepada siswa, tetapi juga guru dan orang tua.
Siswa diberikan keterampilan mengelola emosi seperti: sedih atau stress, berkomunikasi efektif, menjadi pribadi yang mampu berempati, menerapkan cara belajar yang efektif, dan mampu menyelesaikan masalah hidup yang dialaminya.
Guru perlu diberikan training komunikasi efektif dan terapetis, yaitu bagaimana cara berinteraksi yang sehat dan tidak merendahkan dan mematahkan semangat siswa sehingga siswa dapat tumbuh dan berkembang sehat baik fisik maupun mental. Juga, kepada orang tua perlu menerapkan pola asuh yang memungkinkan terciptanya suasana yang kondusif untuk pertumbuhan fisik dan perkembangan psikologis anaknya. Itulah sebabnya, orang tua perlu memanfaatkan pelayanan konsultasi yang dapat diberikan oleh seorang konselor sekolah.Jika langkah-langkah ini diterapkan dilingkungan sekolah, Insya Allah proses pendidikan akan berjalan lebih dinamis dan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang ditargetkan akan tercapai maksimal. Bahkan bisa jadi, siswa akan menunjukkan perilaku yang “qurrata a’yun” dan menjadi pemimpin yang bertaqwa. Wallahu A’lam bisshowab.
                                                                        Sumber.Kompasiana