Senin, 10 Desember 2012

Paradigma Baru Menyikapi Problematika Siswa di Sekolah


Permasalahan siswa yang terjadi di sekolah seperti: tawuran, membolos, mencontek, bullying, malas belajar, nilai rapot yg buruk, dan entah apalagi bentuknya, sebenarnya merupakan fenomena yang sudah lama terjadi dan cenderung terus ada seakan tak pernah sirna. Pernah kah kita terpikir untuk menanganinya secara lebih efektif?
Sepertinya, para guru asyik dengan kesibukan membuat silabus dan rencana pembelajaran, penyiapan materi, administrasi, serta tugas yang lain. Padahal, belum lengkap rasanya kalau guru hanya melaksanakan tugas yang berkaitan dengan administrasi dan proses pembelajaran saja.
Sebenarnya selain guru bimbingan dan konseling, guru bidang studi, dan staf sekolah dapat membantu menyelesaikan permasalahan siswa tanpa harus menelantarkan pekerjaan utamanya. Sebab, mereka selalu berinteraksi cukup intensif.dengan siswa di sekolah. Peluang untuk membantu siswa keluar dari permasalahannya itu cukup terbuka lebar.
Ada sebagian guru yang berusaha melakukan hal itu. Sayangnya, tindakan yang diterapkan selama ini belum mampu mengatasi permasalahan pelajar yang ada di sekolah karena belum menyentuh akar permasalahan yang sebenarnya. Entah terdorong oleh rasa putus asa atau tidak, siswa sering menjadi kambing hitam dalam setiap permasalahan yang muncul disekolah.
Fakta dilapangan mengungkap secara gamblang, banyak guru dan staf sekolah yang justeru berkontribusi terhadap munculnya permasalahan yang dialami siswa. Namun, mereka tidak menyadari akan hal itu. Kita mungkin masih bertanya-tanya bahkan tidak percaya, seraya berkata, Masa sih guru jadi penyebab masalah siswa?
Kasus dibawah ini adalah contoh kecil yang terjadi di sekolah. Kita akan coba melihatnya dan mengomentarinya dengan paradigma baru yang menurut kami perlu diterapkan dalam dunia pendidikan entah disekolah ataupun ditempat lainnya.
Seorang siswa mengekspresikan kekesalannya kepada salah seorang gurunya:
Ini sekolah macam apa? Yang diajarkan adalah hal-hal yg monoton dan tidak berguna. Saya telah memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolah lagi. Untuk menjadi seorang penting, tidak diperlukan pendidikan tinggi. Ada banyak cara utk maju di dunia ini.
Sekarang, bisakah anda tulis diatas secarik kertas bagaimana respon verbal anda terhadap pesan siswa diatas. Mari kita cocokkan jawabannya dengan respon-respon berikut. Kira-kira manakah diantaranya yang mirip dengan respon anda?
Berbagai respon terhadap pesan diatas dapat digolongkan ke dalam dua belas kategori:
1. Memerintah, mengarahkan, mengatur: Jangan bicara seperti itu, Jangan mengeluh!
2. Mengancam, memperingatkan: Sekali lagi bicara kau harus pergi dari hadapan saya!
3. Menanamkan moral, menceramahi, memberi keharusan: Kamu tidak boleh berkata begitu.
Kamu seharusnya bersyukur. Kamu harus menjaga ucapanmu baik-baik!
4. Menasehati, memberi penyelesaian atau saran-saran: Berpikirlah dulu sebelum berkata!
Mengapa tidak kau bicarakan terlebih dahulu dengan orang tuamu? Saya anjurkan kau bicarakan dengan kepala sekolah tentang hal itu.
5. Menggurui, memberi argument logis, berusaha mempengaruhi anak dengan fakta-fakta, informasi atau pendapat pribadi: Ketika bapak seumurmu, bapak mengalami hal yang lebih pahit   dari ini. Mari kita lihat fakta-fakta tentang sekolah ini!
6.  Menghakimi, mengkritik, tidak menyetujui, menyalahkan
Kau ini cerewet sekali. Itu pandangan yg terlalu kekanak-kanakkan.
7. Membentak, menstereotipkan, memberi label, mencemooh, membuat malu: Tingkah mu itu loh seperti anak SD saja. Kau memang anak manja!
8. Menginterpretasikan, menganalisis, mendiagnosis: Kau hanya menghindar dari tugas saja.
Kau merasa begitu karena kau tidak menyelesaikan tugas sekolah dengan baik.
9. Memuji, menyetujui, memberi evaluasi positif: Kau benar-benar seorang yg berbakat. Saya   tahu kau pasti dapat menyelesaikan masalah itu.
10.Memberi kepastian, memberi simpati, menenteramkan, memberi dukungan: Kau bukanlah satu-satunya orang yang mengalami kejadian seperti ini. Saya juga pernah  mengahadapi situasi yang kau hadapi sekarang ini.
11.Menanyai, mendesak, menginterogasi, mengecek jawaban: Apa kau pikir sekolah ini terlalu buruk? Mengapa kau tidak menyukai sekolah?
12. Menarik diri, mengganggu, sinis, melucu, mengalihkan perhatian
Ayo, mari kita membicarakan sesuatu yang lebih  menyenangkan. Lupakan saja hal itu.
Respon kedua belas kategori diatas sangat tidak efektif karena menggunakan bahasa yang kami sebut bahasa penolakan. Jawaban seperti diatas tidak menyelesaikan masalah tapi cenderung memperkeruh masalah. Kok bisa?
Seorang psikolog klinis, Thomas Gordon (1970) telah meneliti respon-respon seperti diatas, menurutnya kedua belas respon itu berakibat buruk terhadap perkembangan psikologis seseorang. Lebih lanjut penjelasannya sebagai berikut:
1. Memerintah, mengarahkan, mengatur. Pesan-pesan ini:
· Menyatakan kepada anak bahwa perasaan-perasaan atau kebutuhannya tidak penting
· Anak harus menuruti perasaan atau kebutuhan guru
· Anak tidak diterima sebagaimana adanya pada saat itu
· Menanamkan rasa takut terhadap kekuasaan yang dipunyai guru
· Membuat anak merasa tidak senang dan marah
· Menyebabkan anak mengutarakan perasaan-perasaan bermusuhan
· Guru tidak mempercayai pendapat atau kemampuan anak
2. Mengancam, memarahi, memperingatkan. Kandungan pesan ini adalah:
· Membuat siswa merasa ketakutan dan taat (hanya pada waktu itu)
· Mengkomunikasikan bahwa guru tidak menaruh perhatian terhadap kebutuhan atau keinginan siswa
· Mengundang siswa untuk menguji sampai sejauh mana kebenaran ancaman tersebut
· Siswa tergoda untuk melakukan sesuatu yang dilarang, hanya untuk melihat apakah konsekwensi yang dijanjikan guru memang benar
3. Menanamkan moral, menceramahi, memberi keharusan. Jawaban seperti ini berdampak:
  • Menunjukkan kepada anak kekuasaan otoritas dari luar serta kewajiban
  • Anak mungkin bereaksi terhadap “keharusan”, “mesti”, “wajib” dengan menolak dan mempertahankan sikap mereka dengan lebih kuat.
  • Anak merasa bahwa guru tidak mempercayai penilaian mereka
  • Dapat menimbulkan perasaan bersalah yang tidak wajar dalam diri anak
4. Menasehati, memberi penyelesaian atau saran-saran:
Pesan-pesan ini berakibat:
· Sering dirasakan oleh anak sebagi bukti bahwa guru tidak mempunyai kepercayaan terhadap penilaian atau kemampuan anak untuk mencari pemecahannya sendiri
· Mempengaruhi anak supaya tetap bergantung pada guru (“apa yang harus saya lakukan, pak”)
· Kadang anak sangat tidak menyenangi usul-usul atau nasihat-nasihat.
· Nasihat kadang mengkomunikasikan superioritas kepada anak, anak dapat pula merasakan inferioritas.
5. Menggurui, memberi argument logis, berusaha mempengaruhi anak dengan fakta-fakta, informasi atau pendapat pribadi. Pesan-pesan ini:
  • Membuat siswa merasa bahwa Anda membuatnya tampak rendah, bawahan atau tidak mampu. (Kamu selalu berpikir bahwa kamu tahu segalanya).
  • Logika dan fakta sering membuat anak menjadi bertahan dan kurang senang. (Kamu pikir saya tak tahu hal itu).
  • Seperti halnya orang dewasa, anak kurang suka kalau ditunjukkan mereka bersalah, konsekwensinya mereka mempertahankan posisi mereka sampai titik terakhir.
  • Kadang anak memilih mengacuhkan fakta. (Saya tak peduli).
6.  Menghakimi, mengkritik, tidak menyetujui, menyalahkan. Respon ini berimplikasi:
  • Membuat anak merasa tidak mampu, rendah, bodoh, tak berharga, jahat. Citra diri seorang anak dibentuk oleh penilaian lingkungan. Bagaimana lingkungan menilai anak, demikian pula anak menilai dirinya sendiri.
  • Kritik negative menimbulkan kritik balasan. (Kamu sendiri tidak seperti itu).
  • Anak merasa bahwa mereka bukan anak baik dan bahwa guru tidak mengasihi mereka
7. Membentak, menstereotipkan, memberi label, mencemooh, membuat malu. Pesan-pesan ini berakibat efek yang ruaarrr biasa terhadap citra diri seorang anak. Seorang anak merasa tidak berharga, jahat, dan tidak dicintai. Kasus bunuh diri sering terjadi akibat muncul perasaan seperti ini dalam diri seseorang.
8.  Menginterpretasikan, menganalisis, mendiagnosis. Respon ini mengakibatkan:
· Guru telah dapat menebak diri anak, tahu mengapa dia bertingkah laku semacam itu
· Bila interpretasi itu tepat, anak merasa malu sudah dipamerkan semacam itu. (Kamu melakukan itu hanya untuk menarik perhatian).
· Bila interpretasi itu salah, anak akan menjadi marah karena dituduh secara tidak adil
· Mengindikasikan bahwa guru merasa superior, lebih bijaksana, lebih pandai.
· Memotong komunikasi pada saat itu, dan mengajar anak untuk tidak membagi persoalan yang dipunyainya dengan orang lain.
9. Memuji, menyetujui, memberi evaluasi positif. Pesan jenis ini menyiratkan:
· Penilaian positif yang tidak sesuai dengan citra diri anak dapat menimbulkan sikap bermusuhan
· Anak merasa pujian sebagai alat manipulasi, suatu cara halus untuk mempengaruhi anak supaya mau     mengerjakan apa yang dituntut oleh orang dewasa.
· Anak menyimpulkan bahwa guru mereka tak memahami mereka bila memberi pujian
· Anak-anak yang terlalu banyak dipuji mungkin menggantungkan diri pada hal tersebut
10. Memberi kepastian, memberi simpati, menenteramkan, memberi dukungan. Pesan ini  berakibat:
· Anak yakin bahwa Anda tidak memahami dirinya
· Guru menghibur dan menentramkan karena merasa kurang enak kalau siswanya merasa disakiti, bingung, kecil hati, dan sejenisnya.
· Pesan ini mengatakan kepada anak bahwa Anda menginginkan supaya anak berhenti merasakan demikian. (Jangan merasa sedih, keadaan akan menjadi baik).
· Tidak menunjukkan simpati seringkali menghentikan komunikasi lebih lanjut.
11. Menanyai, mendesak, menginterogasi, mengecek jawaban. Makna pesan ini:
· Bagi anak diartikan sebagai kurang percaya, curiga, atau meragukan.
· Anak menilai itu sebagai usaha untuk menyalahkan dirinya
· Anak merasa terancam dengan pertanyaan-pertanyaan
· Anak curiga bahwa Anda sedangg mengumpulkan data untuk membuat penyelesaian persoalan bagi dirinya
· Pertanyaan membatasi kebebasan individu untuk menceritakan apa yg dia inginkan
12. Menarik diri, mengganggu, sinis, melucu, mengalihkan perhatian. Pesan-pesan ini berdampak bahwa:
  • Anda tidak menaruh minat terhadap diri anak, tidak menghargai perasaan-perasaannya, dan begitu saja menolaknya
  • Anak-anak biasanya sangat serius bila mereka butuh mempercakapkan sesuatu. Bila anda menjawab dengan melucu, Anda bisa membuat mereka sakit hati dan ditolak.
  • Anak-anak seperti orang dewasa, ingin untuk didengar dan dipahami dengan penuh hormat.
Jika respon yang diperagakan guru diatas terangkum dalam dua belas kategori itu tidak tepat,   lantas seperti apakah sikap yang solutif dan terapetis?
Berikut adalah cara efektif yang dilakukan guru bila siswa punya masalah yaitu dengan menggunakan bahasa yang kami sebut bahasa penerimaan dengan teknik sebagai berikut:
1. Mendengar pasif (diam sambil tetap mendengarkan), manfaatnya adalah:
· Mendengar itu mengajak orang yang bermasalah membicarakan apa yang mengganggunya
· Memudahkan terjadinya katarsis, yaitu pelepasan perasaan serta emosi.
· Memudahkan orang yang bermasalah mencari lebih dalam dan perasaan yang lebih mendasar
· Memberitahukan kepadanya kesungguhan anda sebagai penolong
· Mengkomunikasikan penerimaan anda terhadap dia apa adanya.
2. Pengutaraan respon
Pada saat terjadi jeda, anda dapat menggunakan respon verbal mapun non verbal yang menunjukkan kalau anda benar-benar memperhatikan. Isyarat verbal yang dapat diutarakan seperti: He-eh, oh, saya mendengarkan. Respon non-verbal yang dapat dilakukan seperti: Ekspresi wajah, mengangguk, tersenyum, dan mengerutkan dahi.
Gerakan-gerakan tubuh bila digunakan dengan tepat memberitahukan kepada murid bahwa anda   mendengarkan.
3.   Kunci pembuka
Kadang-kadang murid membutuhkan dorongan tambahan agar mau berbicara lebih banyak, lebih dalam, atau bahkan untuk mulai berbicara. Maka diperlukan teknik membuka percakapan lebih lanjut, seperti:
“Itu sangat menarik, apa lagi?, Bisa ceritakan lebih lanjut?, Sepertinya kamu mempunyai perasaan yg mendalam tentang hal itu?”.
4.  Mendengar aktif
Suatu cara mendengarkan dengan sungguh-sungguh untuk mengerti apa yang dikomunikasikan oleh anak murid.
Ada dua cara untuk mempraktekkan hal ini:
a. Merefleksi isi pembicaraan anak/parafrasa
Murid:  “Sy tidak punya teman bermain; Toto pergi berlibur dengan orang tuanya. Saya tidak tahu   apa   yang harus saya lakukan”.
Guru:   “ Kau kehilangan Toto & tidak tahu apa yang kau lakukan”.
b. Merefleksi perasaan anak
Ini bisa dilakukan dengan mengenali bahasa tubuh, suara, prasa, idiom yg dikirim anak
Murid: “Saya tak tahu apa yang saya ambil di perguruan tinggi nanti. Saya ingin mengambil teknik  sipil, tapi ibuku ingin aku mengambil matematika.
Guru:    “Kau bimbang antara keinginanmu & keinginan ibumu”.
Murid:   “He-eh.”
Penulis Quantum Learning, Bobbi Deporter (2006) pernah melakukan riset terhadap supercamp keterampilan hidup di California. Dia menginventarisir permasalahan remaja yang umumnya terjadi, yaitu: hubungan yang bermasalah, perasaan yang terluka, citra-diri negative, rasa takut akan perubahan besar, nilai-nilai buruk di sekolah, konsentrasi yang kurang, dan motivasi yang rendah. Penyebab munculnya permasalahan itu adalah karena kurangnya kesadaran diri remaja, keinginan remaja untuk dimengerti tidak terpenuhi, rendahnya kemampuan bersosialisasi, remaja kurang berpikir, dan kurang belajar.
Ajaibnya! Para remaja yang memasuki dan berada dalam lingkungan yang positif (remaja merasa diterima dan dipercaya), mereka keluar dari masalah-masalah yang mengungkung diri mereka.
Sebab itu, sudah saatnya kita menebarkan bahasa penerimaaan agar proses pendidikan yang dialami siswa bisa lebih maksimal. Disamping itu, pelayanan psikologis bukan hanya diberikan kepada siswa, tetapi juga guru dan orang tua.
Siswa diberikan keterampilan mengelola emosi seperti: sedih atau stress, berkomunikasi efektif, menjadi pribadi yang mampu berempati, menerapkan cara belajar yang efektif, dan mampu menyelesaikan masalah hidup yang dialaminya.
Guru perlu diberikan training komunikasi efektif dan terapetis, yaitu bagaimana cara berinteraksi yang sehat dan tidak merendahkan dan mematahkan semangat siswa sehingga siswa dapat tumbuh dan berkembang sehat baik fisik maupun mental. Juga, kepada orang tua perlu menerapkan pola asuh yang memungkinkan terciptanya suasana yang kondusif untuk pertumbuhan fisik dan perkembangan psikologis anaknya. Itulah sebabnya, orang tua perlu memanfaatkan pelayanan konsultasi yang dapat diberikan oleh seorang konselor sekolah.Jika langkah-langkah ini diterapkan dilingkungan sekolah, Insya Allah proses pendidikan akan berjalan lebih dinamis dan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang ditargetkan akan tercapai maksimal. Bahkan bisa jadi, siswa akan menunjukkan perilaku yang “qurrata a’yun” dan menjadi pemimpin yang bertaqwa. Wallahu A’lam bisshowab.
                                                                        Sumber.Kompasiana

Minggu, 02 Desember 2012

Masalah Pendidikan di Indonesia

Masalah Pendidikan di Indonesia

Peran Pendidikan dalam Pembangunan


Pendidikan mempunyai tugas menyiapkan sumber daya manusia unuk pembangunan. Derap langkah pembangunan selalu diupayakan seirama dengan tuntutan zaman. Perkembangan zaman selalu memunculkan persoalan-persoalan baru yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Bab ini akan mengkaji mengenai permasalahan pokok pendidikan, dan saling keterkaitan antara pokok tersbut, faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangannya dan masalah-masalah aktual beserta cara penanggulangannya.

Apa jadinya bila pembangunan di Indonesia tidak dibarengi dengan pembangunan di bidang pendidikan?. Walaupun pembangunan fisiknya baik, tetapi apa gunanya bila moral bangsa terpuruk. Jika hal tersebut terjadi, bidang ekonomi akan bermasalah, karena tiap orang akan korupsi. Sehingga lambat laun akan datang hari dimana negara dan bangsa ini hancur. Oleh karena itu, untuk pencegahannya, pendidikan harus dijadikan salah satu prioritas dalam pembangunan negeri ini.

Pemerintah dan Solusi Permasalahan Pendidikan


Mengenai masalah pedidikan, perhatian pemerintah kita masih terasa sangat minim. Gambaran ini tercermin dari beragamnya masalah pendidikan yang makin rumit. Kualitas siswa masih rendah, pengajar kurang profesional, biaya pendidikan yang mahal, bahkan aturan UU Pendidikan kacau. Dampak dari pendidikan yang buruk itu, negeri kita kedepannya makin terpuruk. Keterpurukan ini dapat juga akibat dari kecilnya rata-rata alokasi anggaran pendidikan baik di tingkat nasional, propinsi, maupun kota dan kabupaten.

Penyelesaian masalah pendidikan tidak semestinya dilakukan secara terpisah-pisah, tetapi harus ditempuh langkah atau tindakan yang sifatnya menyeluruh. Artinya, kita tidak hanya memperhatikan kepada kenaikkan anggaran saja. Sebab percuma saja, jika kualitas Sumber Daya Manusia dan mutu pendidikan di Indonesia masih rendah. Masalah penyelenggaraan Wajib Belajar Sembilan tahun sejatinya masih menjadi PR besar bagi kita. Kenyataan yang dapat kita lihat bahwa banyak di daerah-daerah pinggiran yang tidak memiliki sarana pendidikan yang memadai. Dengan terbengkalainya program wajib belajar sembilan tahun mengakibatkan anak-anak Indonesia masih banyak yang putus sekolah sebelum mereka menyelesaikan wajib belajar sembilan tahun. Dengan kondisi tersebut, bila tidak ada perubahan kebijakan yang signifikan, sulit bagi bangsa ini keluar dari masalah-masalah pendidikan yang ada, apalagi bertahan pada kompetisi di era global.

Kondisi ideal dalam bidang pendidikan di Indonesia adalah tiap anak bisa sekolah minimal hingga tingkat SMA tanpa membedakan status karena itulah hak mereka. Namun hal tersebut sangat sulit untuk direalisasikan pada saat ini. Oleh karena itu, setidaknya setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk mengenyam dunia pendidikan. Jika mencermati permasalahan di atas, terjadi sebuah ketidakadilan antara si kaya dan si miskin. Seolah sekolah hanya milik orang kaya saja sehingga orang yang kekurangan merasa minder untuk bersekolah dan bergaul dengan mereka. Ditambah lagi publikasi dari sekolah mengenai beasiswa sangatlah minim.

Sekolah-sekolah gratis di Indonesia seharusnya memiliki fasilitas yang memadai, staf pengajar yang berkompetensi, kurikulum yang tepat, dan memiliki sistem administrasi dan birokrasi yang baik dan tidak berbelit-belit. Akan tetapi, pada kenyataannya, sekolah-sekolah gratis adalah sekolah yang terdapat di daerah terpencil yang kumuh dan segala sesuatunya tidak dapat menunjang bangku persekolahan sehingga timbul pertanyaan ,”Benarkah sekolah tersebut gratis? Kalaupun iya, ya wajar karena sangat memprihatinkan.”

Penyelenggaraan Pendidikan yang Berkualitas


”Pendidikan bermutu itu mahal”. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.Untuk masuk TK dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000, — sampai Rp 1.000.000. Bahkan ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta.

Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha. Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang kadang berkedok, “sesuai keputusan Komite Sekolah”.

Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya.
Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit.

Privatisasi dan Swastanisasi Sektor Pendidikan


Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri Indonesia sebesar 35-40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan besar seperti pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005).

Dalam APBN 2005 hanya 5,82% yang dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan dengan dana untuk membayar hutang yang menguras 25% belanja dalam APBN (www.kau.or.id). Rencana Pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah peraturan, seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pendidikan Dasar dan Menengah, dan RPP tentang Wajib Belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya, terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.

Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Koordinator LSM Education Network for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005) menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan miskin.

Hal senada dituturkan pengamat ekonomi Revrisond Bawsir. Menurut dia, privatisasi pendidikan merupakan agenda kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama oleh negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), pemerintah berencana memprivatisasi pendidikan. Semua satuan pendidikan kelak akan menjadi badan hukum pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga perguruan tinggi.

Bagi masyarakat tertentu, beberapa PTN yang sekarang berubah status menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) itu menjadi momok. Jika alasannya bahwa pendidikan bermutu itu harus mahal, maka argumen ini hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman, Perancis, Belanda, dan di beberapa negara berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi yang bermutu namun biaya pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara ada yang menggratiskan biaya pendidikan.

Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk cuci tangan.***




Penulis : Muliani


Program Studi Biologi
Fakultas Pertanian, Perikanan, dan Biologi
Universitas Negeri Bangka Belitung